Indonesia adalah negara kepulauan, dan perikanan telah menjadi bagian penting dari ekonomi selama ratusan tahun.
Tapi perbudakan modern seharusnya tidak memiliki bagian
dalam industri perikanan kita.
Gelombang arus migrasi ke luar negeri sebagai pekerja tidak
hanya terjadi di daratan, namun juga di lautan. Pada tahun 2010 saja, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mencatat terdapat 198.461 orang ABK. Mereka terkonsentrasi di perairan Laut Cina Selatan, Laut Andaman, Laut Atlantik dan Karibia, laut pasifik serta perairan Australia dan Selandia Baru.
Para ABK asal Indonesia direkrut oleh perusahaan perekrut
swasta. Perusahaan perekrut ini sebagian besar tidak terdaftar
dalam perusahaan agen perekrut luar negeri Kementrian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Kebanyakan merekrut calon ABK yang berasal dari wilayah
pesisir pantai utara pulau jawa yang sebelumnya merupakan
nelayan tradisional. Namun dari kasus yang dijumpai, calon
ABK yang direkrut tidak memiliki pengalaman kerja di laut
sebagai penangkapan ikan. Bahkan agen perekrut tersebut juga melakukan perekrutan di sekolah-sekolah kejuruan di wilayah tersebut. Dalam konvensi diatur mengenai ABK yang direkrut dan diberangkatkan harus memiliki sertifikasi yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang.
Setelah mereka diberangkatkan ke pelabuhan negara tujuan dan diberlayar ke laut untuk menangkap ikan, itu merupakan kali terakhir mereka melihat daratan. Karena tidak ada jadwal kapan kapal operasi (long lane) yang membawanya itu akan sandar.Dalam klausul kontrak tertuliskan pembayaran gaji kepada ABK akan dilakukan ketika kapal sandar. Karena kapal jarang sandar, maka mereka juga tidak menerima gajinya. Konvensi mengatur secara rinci bahwa semua ABK harus diberikan pelayanan pengiriman gaji ke keluarga termasuk pembayaran uang muka.
Perlakukan kekerasan juga kerap kali diterima oleh ABK. Karena mereka tidak memiliki pengalaman bekerja di laut. Pemukulan dengan balok kayu maupun dengan tangan lepas dari kapten maupun mandor, akibat dari kurang terampil dalam bekerja. Bekerja sepanjang waktu, 20 jam perhari atau 140 jam dalam seminggu. Akibatnya dari rekam medis, mereka mengalami back pain injury karena terlalu lama berdiri dan kelalahan. Konvensi mengatur waktu istirahat minimal 10 jam per hari serta menyediakan pelayanan kesehatan dan jaminan keselamatan bagi ABK.
Mereka juga sering dipindah-pindahkan dari kapal satu ke
kapal lainnya. Ketika sandar dikabarkan jika perusahaan di
Taiwan telah bangkrut dan pembayaran gaji akan diurus setelah sampai di Indonesia. Kapten dan engine dengan tanpa tanggung jawab meninggalkan ABK begitu saja. Tidak mempedulikan bagaimana cara pulang ke Indonesia dan apa makanan yang akan dikonsumsi setiap harinya setelah ditinggalkan?
Ketika banyak pihak yang membantu kepulangannya ke Indonesia, mereka hanya membawa pakaian kusam dan dekil
yang dibawanya dulu semasa berangkat, itu pun setelah dipakai setiap hari untuk bekerja. Mereka juga tidak membawa uang hasil bekerja sama sekali selama di laut.
Untuk mengakhiri cerita pilu dan perbudakan di laut, mari kita dorong agar Presiden Republik Indonesia yang sedang menjabat atau untuk periode yang akan datang meratifikasi
konvensi 188 tahun 2007 tentang penangkapan ikan (work
in fishing). Jika banyak dari kita yang berdiri untuk sesama
warga negara kita, maka kita dapat memperkuat cerita mereka
dan membantu mereka memperoleh keadilan. Pengesahan
ILO 188 akan memberikan akses kuat ke pengadilan untuk
korban, termasuk kemampuan untuk mendapatkan kompensasi
atas waktu mereka di laut dari lembaga dan perusahaan, dan
memaksa Indonesia untuk menjadi pemimpin global.
Konvensi 188 ini mengatur bagi penangkap ikan dengan
beberapa ketentuan. Seperti spesifikasi kapal memiliki panjang
lebih dari 24 meter. Berlayar lebih dari 3 hari di lautan. Sistem
navigasi pada jarak melebihi 200 mil laut dari garis pantai dari
Negara Bendera atau menavigasi melewati tepi luar landas
kontinennya, mana jarak dari garis pantai lebih besar. Artinya,
nelayan tradisional tidak termasuk dalam kategori ini.
Daftar dan bagikan petisi kami dan membuat perbedaan bagi
ribuan nelayan Indonesia yang beresiko terkena perbudakan
modern di seluruh dunia.
Akhiri segala bentuk perbudakan modern di darat maupun di
laut. Negara harus melindungi warga negaranya dimana pun
mereka berada.
Tahun 2013 lalu, 201 laki-laki warga negara Indonesia yang
direkrut dan dipekerjakan menjadi Anak Buah Kapal (ABK)
perusahaan penangkapan ikan asal Taiwan terdampar di
Trinidad and Tobago, 33 dan 12 orang diantaranya di Pantai
Gading dan Venezuela. Semuanya bekerja pada perusahaan asal Taiwan yang sama dan direkrut oleh dua perusahaan perkrut asal Indonesia. Pada Februari 2014, 74 orang lagi dipulangkan dari Afrika Selatan dalam kasus yang serupa.
Mereka dipaksa bekerja sepanjang waktu, istirahat hanya 4 jam
per hari tanpa hari libur. Karena kapal yang membawa ABK
jarang sandar, akibatnya mereka juga jarang pernah melihat
daratan, bahkan ada beberapa ABK tidak pernah melihatan
daratan selama 30 bulan lebih.
Sebenarnya, melalui Hukum Internasional telah mengatur
praktik perburuhan di laut, khususnya penangkapan ikan ini.
Pak President, ambil tindakan.
- Ratifikasi Konvensi 188 tahun 2007 tentang Penangkapan Ikan (Work in Fishing) ke dalam hukum positif Indonesia
- Adopsi Undang-Undang nomor 6 tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional 45/158 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya; serta Konvensi 188 tahun 2007 tentang Penangkapan Ikan ke dalam Revisi Undang- Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri.